Membuat Catatan Tentang Ke-tidak-kekal-an

Oleh: Dr. Yutang Lin

Green Tara and an unbroken incense


Pada tanggal 10 Februari 1988, terpikir olehku bahwa membuat catatan nama--nama semua orang yang meninggal yang pernah kutemui akan membantu membangkitkan dalam diriku perasaan yang tajam tentang ke-tidak-kekal-an. Bagi praktisi Buddhist sepenuhnya sepertiku hal ini akan sangat bermanfaat.

Aku menemukan buku catatan harian tahun 1987 yang kecil dan bersampul biru di laciku, maka kugunakan buku catatan yang sudah kadaluwarsa dan tak terpakai ini. Di halaman pertama aku memberinya judul Catatan Ke-tidak-kekal-an dan di halaman-halaman harian yang kosong aku mengisinya dengan nama--nama yang kuingat.

Selagi aku menuliskan setiap nama, peristiwa-peristiwa yang lampau mulai muncul di pikiranku satu demi satu. Ada beberapa yang nama-namanya sudah tak teringat, oleh sebab itu aku menuliskan hubungannya denganku; ada beberapa yang nama-namanya tak kuketahui, oleh sebab itu aku menuliskan penjelasan yang singkat; dan bahkan ada beberapa yang telah meninggal sebelum diberi nama. Beberapa orang hanya sekali kutemui; beberapa lagi pernah bersamaku selama beberapa tahun. Ada beberapa yang kabar kematiannya mengejutkan dari jarak ribuan mil jauhnya; sementara yang lain proses menuju kematiannya bertahap dan dekat denganku. Beberapa mati karena penyakit yang mendadak; sementara yang lain mati karena penyakit yang berkepanjangan. Beberapa bunuh diri karena masalah di sekolah; sementara yang lain karena perkawinan yang tak bahagia. Beberapa dibunuh oleh mitra--mitra bisnisnya; sementara yang lain dibunuh oleh saingan dalam hal percintaan. Beberapa meninggal dalam kandungan; beberapa mati saat masih kecil; beberapa meninggal saat remaja, seperti bunga yang kuncup; beberapa meninggal secara tiba-tiba di usia produktif; beberapa meninggal dalam jeratan usia tua dan penyakit; beberapa meninggal dalam ketenangan hidup yang damai dan umur panjang. Di usia empat puluh satu tahun aku seorang diri telah menyaksikan sedemikian banyak aneka ragam kasus ke-tidak-kekal-an.

Menghadapi fakta tentang ke-tidak-kekal-an dan dengan mempertimbangkan bahwa setiap saat ada ribuan orang yang meninggal, aku menyadari berdasarkan intuisi, ke-sia-sia-an dari semua perdebatan kata-kata dan segala macam persaingan. Betapa aku berharap untuk mempergunakan waktu yang sedemikian singkat dan hidup yang sangat berharga ini untuk memberi persembahan berupa sumbangsih yang bermanfaat bagi dunia.

Aku meletakkan Catatan Ke-tidak-kekal-an ini, dengan halaman terbuka, di altar di dekat tempat duduk teratai Tara Hijau ( reinkarnasi dari Bodhisattva Avalokitesvara yang Maha Welas Asih / Guan Yin ). Aku menyalakan dupa dan berdoa agar orang-orang yang meninggal ini diberkati oleh para Buddha dan Bodhisattva, terutama oleh Tara Hijau, dan dengan demikian memperoleh pembebasan dari penderitaan-penderitaan reinkarnasi.

Malam itu, sesaat sebelum aku tertidur, saat pikiranku betul-betul sudah tenang, tiba-tiba aku merasakan bahwa aku pernah menyimpan sebuah pikiran khayal yang halus bahwa kematian bukanlah masalahku. Pikiran khayal yang demikian bisa hadir dengan bagus dalam ingatan banyak orang tanpa disadari keberadaannya. Bagaimanapun, kematian sepertinya sangatlah jauh dari kenyataan kehidupan sehari-hari yang sedang dan terus berlangsung. Awal-awal hari itu saya menghadapi kasus konkrit ke-tidak-kekal-an dan dengan demikian secara tidak sengaja hal ini telah memecahkan pikiran khayal yang telah kubawa dan kusimpan selama ini. Pikiran khayal tersebut tersimpan jauh di bawah kesadaran kita dan mengaburkan perspektif kita, maka sulit untuk dikenali. Hanya saat pikiran tersebut hancur kita bisa memperoleh pandangan sekilas.

Segera mengikuti realisasi intuitif ini datang pikiran yang lain: Pada saat kematian kita dipisahkan dari segala sesuatu di dunia. Ini mungkin jelas bagi siapapun yang memikirkan kematian; bagaimanapun, saya tak pernah memiliki kesadaran yang demikian, yang muncul dari kedalaman pikiran saya. Kita harus berlatih untuk menjadi lepas dari segala sesuatu agar kita tidak menderita di akhir. Sebaliknya, sambil menoleh ke belakang, saat kematian, kita akan menyadari bahwa hidup kita telah dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran dan pertengkaran-pertengkaran terhadap persaingan-persaingan yang tak berarti. Betapa sia-sianya hal tersebut! Saat saya terjerat oleh kesedihan dalam pikiran, saya akan berpikir: Bila ini adalah saat akhir hidupku dan aku terjerat oleh masalah-masalah ini, apakah hidupku akan bermanfaat ? Refleksi yang demikian biasanya menarikku keluar dari kesedihan, dan langitpun menjadi biru dan cerah lagi!

Pagi berikutnya, aku menemukan bahwa batang dupa yang telah kunyalakan dan kupersembahkan untuk doaku, walau telah habis terbakar, tersisa melingkar membentuk kurva dan menunjuk kearah tangan kanan pratima Tara Hijau. Tangan kanannya mengulur ke arah bawah dengan telapak yang terbuka, menunjukkan kegiatan penyelamatannya. Aku mengabadikannya dan fotonya dicetak ulang di bagian akhir dari artikel ini. Di foto ini sampul biru dari Catatan Ke-tidak-kekal-an bisa terlihat di tempat duduk Tara Hijau. Bagiku, penampakan yang memberi inspirasi ini menunjukkan berkah para Buddha yang welas asih yang menjawab doa-doaku untuk orang-orang yang telah meninggal, dan restunya untuk latihan membuat Catatan tentang Ke-tidak-kekal-an.

Sejak hari itu aku terus membuat catatan tentang Ke-tidak-kekal-an. Ketika orang-orang memintaku melakukan Powa (sadhana Tantra Buddha untuk memindahkan kesadaran orang-orang yang telah meninggal ke tanah suci Buddha) aku juga memasukkan nama orang-orang yang telah meninggal dalam buku tersebut. Walaupun saya tak pernah bertemu sebagian dari mereka secara langsung, dengan melakukan Powa untuk mereka aku membuat hubungan Dharma yang luar biasa. Selain itu, Powa dilakukan untuk kebaikan yang telah meninggal, dan secara alami mengingatkan kita pada kenyataan tentang ke-tidak-kekal-an, tentang kesegeraannya dan tentang ketakterdugaannya. (Ngomong-ngomong, kadang-kadang ketika aku melakukan Powa untuk yang telah meninggal, aku melihat mereka muncul di hadapanku.) Beberapa nama di dalam catatan dimasukkan secara sporadis belakangan karena baru kemudianlah nama-nama itu tercetus dalam ingatanku. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun ke-tidak-kekal-an hidup adalah kenyataan, bagaimanapun, dalam kehidupan sehari-hari yang normal, sangatlah mudah bagi kita untuk mengabaikan dan melupakannya. Berlatih membuat Catatan tentang Ke-tidak-kekal-an akan mengingatkan kita terus menerus kenyataan tentang ke-tidak-kekal-an, agar kita tidak membiarkan diri mengejar hal-hal duniawi yang tidak penting dan menderita karena kekacauan yang dihasilkannya. Catatan ini akan membantu melindungi kemurnian dan kesegaran pikiran-pikiran kita sedemikian hingga keseluruhan gagasan akan berkecambah dan tumbuh menjadi akitifitas-akitifitas yang penuh dengan kebaikan dan welas asih.

Untuk belajar aritmatika sepenuhnya kita tidak hanya harus bisa melakukan latihan-latihan di buku tetapi juga bisa mengaplikasikannya ke situasi nyata sehari-hari. Membuat Catatan tentang Ke-tidak-kekal-an tidak hanya untuk melatih ajaran Buddha, menyadari ke-tidak-kekal-an tetapi juga untuk menghubungkan ajaran tersebut dengan pengalaman pribadi kita agar menguntungkan pada tingkat yang sederhana. Hanya dengan menggabungkan teori dan praktek kita bisa menerima dengan sungguh-sungguh inti dari ajaran-ajaran Buddha. Karena kasus-kasus ke-tidak-kekal-an yang kita tuliskan adalah yang benar-benar kita saksikan, terlibat didalamnya secara pribadi, dan bahkan menderita karenanya, hal-hal tersebut mempunyai pengaruh yang hebat sekali pada kita dan membawa bersama mereka daya bujuk yang tertinggi. Kesadaranku tentang keberadaan pikiran khayal dalam diriku adalah contoh yang baik dari keefektifan latihan ini.

Ada banyak latihan tentang ke-tidak-kekal-an dalam agama Buddha. Contohnya, meditasi tentang kematian (bermeditasi pada kepastian datangnya kematian, tak terduganya waktu meninggal, ketidakberdayaan dan kesepian seseorang pada saat kematian, dan lain-lain.), observasi tentang perubahan suasana aktifitas mental kita, melantunkan nama Buddha di dekat seseorang yang menjelang ajal, dan mengunjungi kuburan untuk berdoa bagi yang meninggal. Membuat catatan tentang ke-tidak-kekal-an mudah tetapi merupakan menu tambahan yang sangat membantu terhadap latihan-latihan lainnya. Catatan ini untuk diletakkan di altar agar orang-orang yang meninggal diberkahi oleh Buddha dan dengan demikian kita bisa berlatih tindakan maha welas asih. Selagi menuliskan nama-nama, kita tidak membedakan antara teman atau lawan, anggota keluarga atau kenalan; oleh sebab itu juga melatih cinta sama rata untuk semuanya.

Saya berharap setiap orang yang membaca artikel ini akan mengadopsi latihan ini dan dengan demikian memperoleh juga keuntungan-keuntungan efektifnya.

Diterjemahkan dari artikel yang berjudul: Keeping a "Record of Impermanence".


[Home][Back to list][Keeping a "Record of Impermanence"]